Imam Ali bin Abi Thalib as adalah seupu Rasulullah saw. Dikisahkan
bahwa pada saat ibunya, Fatimah binti Asad, dalam keadaan hamil, beliau
masih ikut bertawaf di sekitar Ka’bah. Karena keletihan yang dialaminya
lalu si ibu tadi duduk di depan pintu Ka’bah seraya memohon kepada
Tuhannya agar memberinya kekuatan. Tiba-tiba tembok Ka’bah tersebut
bergetar dan terbukalah dindingnya. Seketika itu pula Fatimah binti Asad
masuk ke dalamnya dan terlahirlah di sana seorang bayi mungil yang
kelak kemudian menjadi manusia besar, Imam Ali bin Abi Thalib as.
Pembicaraan tentang Imam Ali bin Abi Thalib as tidak dapat dipisahkan dengan Rasulullah saw. Sebab sejak kecil beliau telah berada dalam didikan Rasulullah saw, sebagaimana dikatakannya sendiri: “Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau ke manapun beliau pergi, seperti anak untu yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru daru karakternya yang mulia dan aku menerima serta mengikutinya sebagai suatu perintah”.
Setelah Rasulullah saw mengumandangkan tentang kenabiannya, beliau menerima dan mengimaninya dan termasuk orang yang masuk Islam pertama kali dari kaum laki-laki. Apapun yang dikerjakan dan diajarkan Rasulullah saw kepadanya, selalu diamalkan dan ditirunya. Hingga tidak ajang lagi, beliau tidak pernah terkotori oleh kesyirikan atau tercemari oleh karakter hina dan jahat dan tidak ternodai oleh kemaksiatan. Kepribadian beliau telah menyatu dengan Rasulullah saw, baik dalam karakternya, pengetauhannya, pengorbanan diri, kesabaran, keberanian, kebaikan, kemurahan hati, kefasihan dalam berbicara dan berpidato.
Sejak masa kecilnya beliau telah menolong Rasulullah saw dan terpaksa harus menggunakan kepalan tangnanya dalam mengusir anak-anak kecil serta pada gelandangan yang diperintah kaum kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah saw.
Keberaniannya tidak tertandingi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Tiada pemuda sehebat Ali”. Dalam bidang keilmuan, Rasul menamakannya sebagai pintu ilmu. Bila ingin berbicara tentang kesalehan dan kesetiaannya, maka simaklah sabda Rasulullah saw: “Jika kalian ingin tahu ilmunya Adam, kesalehan Nuh, kesetiaan Ibrahim, keterpesonaan Musa, pelayanan dan kepantangan Isa, maka lihatlah kecemerlangan wajah Ali”. Beliau merupakan orang yang paling dekat hubungan kefamiliannya dengan Nabi saw sebab, beliau bukan hanya sepupu nabi, tapi sekaligus sebagai anak asuhnya dan suami dari putrinya serta sebagai menerus kepemimpinan sepeninggal beliau saw.
Sejarah juga telah menjadi saksi nyata atas keberaniannya. Di setiap peperangan, beliau selalu menjadi orang yang terkemuka. Di perang Badar, hampir seperuh dari jumlah musuh yang mati, tewas di ujung pedang Imam Ali as. Di perang Uhud, yang mana musuh Islam lagi-lagi dipimpin oleh Abu Sufyan dari keluarga Umayyah yang sangat memusuhi Nabi saw, Imam Ali as kembali memerankan peran yang sangat penting yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengar wasiat Rasulullah saw agar tidak turun dari atas gunung, namun mereka tetap turun sehingga orang kafir Qurays mengambil posisi mereka, Imam Ali bin Abi Thalib as segera datang untuk menyelamatkan diri Nabi saw dan sekaligus menghalau serangan itu.
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Imam Ali bin Abi Thalib as ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Demikian pula hal dengan perang Khaibar, di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda: “Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah swt akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Imam Ali bin Abi Thalib as yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya hingga terbelah menjadi dua bagian.
Begitulah kegagahan yang ditampakkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as dalam menghadapi musuh Islam serta dalam membela Allah dan Rasul-Nya. Tidak syak lagi bahwa seluruh kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as dipersembahkan untuk Rasul demi keberhasilan proyek Allah swt. Kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah saw benar-benar terbukti lewat perjuangannya. Penderitaan dan kesedihan dalam medan perjuangan mewarnai kehidupannya. Namun, penderitaan dan kesedihan yang paling dirasakan adalah saat ditinggalkan Rasulullah saw. Tidak cukup itu, 75 atau 95hari kemudian istrinya, Fatimah Zahra’ juga meninggal dunia.
Kepergian Rasulullah saw telah membawa angin lain dalam kehidupan Imam Ali as. Terjadinya pertemuan Tsaqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, baru didengarnya setelah pulang dari kuburan Rasulullah saw. Sebab, pemilihan khalfah itu menurut sejarah memang terjadi saat Rasulullah saw belum dimakamkan. Pada tahun ke 13 H, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia dan menunjuk khalifah ke 2, Umar bin Khaththab sebagai penggantinya. Sepuluh tahun lamanya khalifah ke 2 memimpin dan pada tahun ke 23 H, ia meninggal. Namun, sebelum meninggalnya, khalifah pertama telah menunjuk 6 orang calon pengganti dan Imam Ali as termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terpilihlah khalifah Utsman bin Affan. Sedang Imam Ali bin Abi Thalib as tidak terpilih karena menolak syarat yang diajukan Abdurrahman bin ‘Auf yaitu agar mengikuti apa yang diperbuat khalifah pertama dan kedua dan mengatakan akan mengikuti apa yang sesuai dengan printah Allah dan Rasul-Nya.
Pada tahun 35 H, khalifah Utsman terbunuh dan kaum Muslimin secara aklamasi memilih serta menunjuk Imam Ali as sebagai khalifah dan pengganti Rasulullah saw dan sejak itu beliau as memimpin negara Islam tersebut. Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun 9 bulan, Ali as mengikuti cara Nabi saw dan mulai menyusun sistem yang Islami dengan membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan.
Dalam merealisasikan usahanya, beliau as menghadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dicanangkannya dapat merongrong dan menghancurkan keuntungan-keuntungan pribadi dari beberapa kelompok yang merasa dirugikan. Akhirnya, terjadilah perang Jamnal dekat Bashrah antara beliau as dengan Talhah dan Zubair yang didukung oleh Mu’awiyah, yang mana di dalamnya Aisyah “Ummul Mukminin” ikut keluar untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib as. Peperangan pun tak dapat dihindari, dan akhirnya pasukan Imam Ali as berhasil memenangkan peperangan itu sementara Aisyah “Ummul Mukminin” dipulangkan secara terhormat ke rumahnya.
Kemudian terjadi “perang Shiffin” yaitu peperangan antara beliau as melawan kelompok Mu’awiyah, sebagai kelompok oposisi yang merongrong negara yang sah. Peperangan itu terjadi di perbatasan Iraq dan Syiria dan berlangsung selama setengah tahun. Beliau as juga memerangi Khawarij (orang yang keluar dari lingkup Islam) di Nahrawan, yang dikenal dengan nama “perang Nahrawan”. Oleh karena itu, hampir sebagian besar hari-hari pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib as digunakan untuk peperangan interen melawan pihak-pihak oposisi yang sangat merongrong dan merugikan keabsahan negara Islam.
Akhirnya, menjelang subuh, 19 Ramadhan 40 H ketika sedang salat di masjid Kufah, kepala beliau as dipukul dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam. Menjelang wafatnya, pria sejati ini masih memberi makan kepada pembunuhnya.
Singa Allah, yang dilahirkan di rumah Allah “Ka’bah” dan dibunuh di rumah Allah “Masjid Kufah”, yang mempunyai hati paling berani, yang selalu berada dalam didikan Rasulullah saw sejak kecilnya serta selalu berjalan dalam ketaatan pada Allah swt hingga hari wafatnya, kini telah mengakhiri kehidupan dan pengabdiannya untuk Islam.
Pembicaraan tentang Imam Ali bin Abi Thalib as tidak dapat dipisahkan dengan Rasulullah saw. Sebab sejak kecil beliau telah berada dalam didikan Rasulullah saw, sebagaimana dikatakannya sendiri: “Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau ke manapun beliau pergi, seperti anak untu yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru daru karakternya yang mulia dan aku menerima serta mengikutinya sebagai suatu perintah”.
Setelah Rasulullah saw mengumandangkan tentang kenabiannya, beliau menerima dan mengimaninya dan termasuk orang yang masuk Islam pertama kali dari kaum laki-laki. Apapun yang dikerjakan dan diajarkan Rasulullah saw kepadanya, selalu diamalkan dan ditirunya. Hingga tidak ajang lagi, beliau tidak pernah terkotori oleh kesyirikan atau tercemari oleh karakter hina dan jahat dan tidak ternodai oleh kemaksiatan. Kepribadian beliau telah menyatu dengan Rasulullah saw, baik dalam karakternya, pengetauhannya, pengorbanan diri, kesabaran, keberanian, kebaikan, kemurahan hati, kefasihan dalam berbicara dan berpidato.
Sejak masa kecilnya beliau telah menolong Rasulullah saw dan terpaksa harus menggunakan kepalan tangnanya dalam mengusir anak-anak kecil serta pada gelandangan yang diperintah kaum kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah saw.
Keberaniannya tidak tertandingi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw: “Tiada pemuda sehebat Ali”. Dalam bidang keilmuan, Rasul menamakannya sebagai pintu ilmu. Bila ingin berbicara tentang kesalehan dan kesetiaannya, maka simaklah sabda Rasulullah saw: “Jika kalian ingin tahu ilmunya Adam, kesalehan Nuh, kesetiaan Ibrahim, keterpesonaan Musa, pelayanan dan kepantangan Isa, maka lihatlah kecemerlangan wajah Ali”. Beliau merupakan orang yang paling dekat hubungan kefamiliannya dengan Nabi saw sebab, beliau bukan hanya sepupu nabi, tapi sekaligus sebagai anak asuhnya dan suami dari putrinya serta sebagai menerus kepemimpinan sepeninggal beliau saw.
Sejarah juga telah menjadi saksi nyata atas keberaniannya. Di setiap peperangan, beliau selalu menjadi orang yang terkemuka. Di perang Badar, hampir seperuh dari jumlah musuh yang mati, tewas di ujung pedang Imam Ali as. Di perang Uhud, yang mana musuh Islam lagi-lagi dipimpin oleh Abu Sufyan dari keluarga Umayyah yang sangat memusuhi Nabi saw, Imam Ali as kembali memerankan peran yang sangat penting yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengar wasiat Rasulullah saw agar tidak turun dari atas gunung, namun mereka tetap turun sehingga orang kafir Qurays mengambil posisi mereka, Imam Ali bin Abi Thalib as segera datang untuk menyelamatkan diri Nabi saw dan sekaligus menghalau serangan itu.
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Imam Ali bin Abi Thalib as ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Demikian pula hal dengan perang Khaibar, di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda: “Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah swt akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”. Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Imam Ali bin Abi Thalib as yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya hingga terbelah menjadi dua bagian.
Begitulah kegagahan yang ditampakkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as dalam menghadapi musuh Islam serta dalam membela Allah dan Rasul-Nya. Tidak syak lagi bahwa seluruh kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib as dipersembahkan untuk Rasul demi keberhasilan proyek Allah swt. Kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah saw benar-benar terbukti lewat perjuangannya. Penderitaan dan kesedihan dalam medan perjuangan mewarnai kehidupannya. Namun, penderitaan dan kesedihan yang paling dirasakan adalah saat ditinggalkan Rasulullah saw. Tidak cukup itu, 75 atau 95hari kemudian istrinya, Fatimah Zahra’ juga meninggal dunia.
Kepergian Rasulullah saw telah membawa angin lain dalam kehidupan Imam Ali as. Terjadinya pertemuan Tsaqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, baru didengarnya setelah pulang dari kuburan Rasulullah saw. Sebab, pemilihan khalfah itu menurut sejarah memang terjadi saat Rasulullah saw belum dimakamkan. Pada tahun ke 13 H, khalifah pertama, Abu Bakar, meninggal dunia dan menunjuk khalifah ke 2, Umar bin Khaththab sebagai penggantinya. Sepuluh tahun lamanya khalifah ke 2 memimpin dan pada tahun ke 23 H, ia meninggal. Namun, sebelum meninggalnya, khalifah pertama telah menunjuk 6 orang calon pengganti dan Imam Ali as termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terpilihlah khalifah Utsman bin Affan. Sedang Imam Ali bin Abi Thalib as tidak terpilih karena menolak syarat yang diajukan Abdurrahman bin ‘Auf yaitu agar mengikuti apa yang diperbuat khalifah pertama dan kedua dan mengatakan akan mengikuti apa yang sesuai dengan printah Allah dan Rasul-Nya.
Pada tahun 35 H, khalifah Utsman terbunuh dan kaum Muslimin secara aklamasi memilih serta menunjuk Imam Ali as sebagai khalifah dan pengganti Rasulullah saw dan sejak itu beliau as memimpin negara Islam tersebut. Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun 9 bulan, Ali as mengikuti cara Nabi saw dan mulai menyusun sistem yang Islami dengan membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan.
Dalam merealisasikan usahanya, beliau as menghadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dicanangkannya dapat merongrong dan menghancurkan keuntungan-keuntungan pribadi dari beberapa kelompok yang merasa dirugikan. Akhirnya, terjadilah perang Jamnal dekat Bashrah antara beliau as dengan Talhah dan Zubair yang didukung oleh Mu’awiyah, yang mana di dalamnya Aisyah “Ummul Mukminin” ikut keluar untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib as. Peperangan pun tak dapat dihindari, dan akhirnya pasukan Imam Ali as berhasil memenangkan peperangan itu sementara Aisyah “Ummul Mukminin” dipulangkan secara terhormat ke rumahnya.
Kemudian terjadi “perang Shiffin” yaitu peperangan antara beliau as melawan kelompok Mu’awiyah, sebagai kelompok oposisi yang merongrong negara yang sah. Peperangan itu terjadi di perbatasan Iraq dan Syiria dan berlangsung selama setengah tahun. Beliau as juga memerangi Khawarij (orang yang keluar dari lingkup Islam) di Nahrawan, yang dikenal dengan nama “perang Nahrawan”. Oleh karena itu, hampir sebagian besar hari-hari pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib as digunakan untuk peperangan interen melawan pihak-pihak oposisi yang sangat merongrong dan merugikan keabsahan negara Islam.
Akhirnya, menjelang subuh, 19 Ramadhan 40 H ketika sedang salat di masjid Kufah, kepala beliau as dipukul dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam. Menjelang wafatnya, pria sejati ini masih memberi makan kepada pembunuhnya.
Singa Allah, yang dilahirkan di rumah Allah “Ka’bah” dan dibunuh di rumah Allah “Masjid Kufah”, yang mempunyai hati paling berani, yang selalu berada dalam didikan Rasulullah saw sejak kecilnya serta selalu berjalan dalam ketaatan pada Allah swt hingga hari wafatnya, kini telah mengakhiri kehidupan dan pengabdiannya untuk Islam.
0 komentar:
Posting Komentar