Beberapa hari lalu, seorang teman meminta
saya untuk membaca sebuah posting dalam milis yang diikutinya.
Meskiagakogah-ogahan, demi menyenangkannya, saya pun membacanya.
Ternyata isinya mengundang selera saya. Rupanya pengirimnya mengomentari
aksi anarkisme terhadap beberapa orang yang dianggap sebagai penyebar
aliran sesat (baca: Syiah). Ia mencoba untuk mengangkat sebuah hipotesa
yang cukup tajam sekaligus menggelikan.
Bendera Kesultanan Aceh yang berisi syair puji-pujian terhadap Muhammad dan Ali
La Fata Illa Ali, Wa La Syaifa Illa Dzulfaqor
Meski mengaku penentang anarkisme, ia
mengingatkan bahwa aksi anarki yang terjadi di Bangil itu adalah akibat
dan reaksi serta kulminasi dari gerah terhadap orang-orang Syiah, yang
menurutnya, tidak semestinya melakukan misionari di tengah masyarakat
sunni.
Ia nampaknya mengemukakan vandalisme itu sebagai aploogi dan justifikasi implisit.
Menurutnya, Syiah sebagai
pendatang baru semestinya tidak mencari penganut di tengah masyarakat
yang menganut mazhab yang lebih dulu ada, yaitu Sunni. Ia bahkan
mengakhiri postingnya dengan menghimbau kepada orang-orang Syiah untuk
untuk mempertimbangkan hal itu agar terhindar dari brutalisme.
Banyak poin
lemah yang bisa ditemukan dalam posting ‘asal nulis’ itu, misalnya tidak
adanya bukti nyata bahwa orang-orang Syiah mengajak orang-orang sunni
untuk menganut mazhab Syiah. Apalagi tuduhan-tuduhan yang biasa
dilontarkan adalah konsep taqiyah yang digunakan oleh orang-orang Syiah
di Bangil.
Semestinya tuduhan demikian bisa
dijadikan bukti penolakan karena bila orang-orang Syiah meyakini konsep
taqiyah, maka itu membuktikan bahwa mazhab Syiah tidak berwatak
misionaris. Nah, kalau untuk mengaku Syiah saja masih berhati-hati dan
bersembunyi, maka tuduhan misionari menjadi kelihalangan subjek.
Poin lain yang juga perlu diperhatikan
adalah fakta nyata tidak adanya lagi ‘sunni sejati’ sebagaimana plaform
Sunni tradisional ala Abul-Hasan Asy’ari dengan teologinya. NU sendiri
yang diyakini sebagai representasi dari teologi Sunni sekarang sedang
mengalami transforamsi dan reformasi pemikiran. Munculnya fenomena Gus
Dur lalu Ulil Absar Abdillah kemudian guntur Romli yang tumbuh dari
lumbung-lumbung Sunni tradisional, yang kinimendominasi generasi muda
NU, adalah bukti nyata akan trend ini. Sedangkan Muhammdiyah, Persis dan
Al-Irsyad sejak semula telah menunjukkan kehendak untuk tidak serta
merta menduplikasi pandangan orisinil Sunni.
Poin ketiga yang tak patut diabaikan
adalah perlunya memperjelas hot isu. Apakah ‘Sunni’ itu nama barang
ataukah merek dagang? Bila ditilik substansinya (makna), maka siapapun
yang merasa mengikuti Sunnah Nabi saw, berhak menyandang predikat (nama
barang) ‘sunni’,teramsuk Syiah dan lainnya. Bila ‘sunni’ diperlakukan
sebagai merek dagang, maka iasebuah simbol yang menjadi hak paten sebuah
institusi atau perusahaan. Hingga kini NU dan kelompok-kelompok Islam
lain di indonesia sedang memperebutkan hak paten ini. Yang menggelikan
kelompok ‘wahabi hardcore’ seperti Jakfar Talib dan kelompoknya sempat
mengkalim sebagai sebagai ‘Lazkar Ahlussunnah’. Selain itu, kata ‘salaf’
juga masih menjadi sengketa di antara mereka.
Tapi poin yang paling menarik adalah
anggapan Syiah sebagai pendatang baru di Indonesia. Benarkah Indonesia
yang berpenduduk mayoritasMuslim ini hasil perjuangan para pendakwah
dari satu mazhab saja?
Proses sinkretisasi antara Islam dengan
kebudayaan setempat di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam
ke Nusantara. Teori Gujarat menyatakan bahwa pembawa Islam yang pertama
kali masuk ke Nusantaraadalah pedagang-pedagang yang datang dari Gujarat
yang sangat kental dengan budaya Persia.
Itu berarti,yang pertama kali masuk ke
nusantara adalah Islam versi Persia-Gujarat (Syiah). Ajaran pantheisme
(kesatuan wujud, union mistik, Manunggal ing Kawula Gusti), di Jawa dan
Sumatera merupakan pandangan teologi dan mistisisme (tasawuf falsafi)
yang tidak harmonis dengan akidah Asy’ariah, apalagi Islam wahabi yang
literal. Ritus-ritus Tabut di Bengkulu dan Sumatera dan Gerebek Sura di
Jogjakarta dan Ponorogo adalah situs teologi Syiah yang datang dari
Gujarat-Persia.
Kedatangan para pendakwah Islam dari
Saudi Arabia (yang sebelumnya dikenal dengan jazirah atau Hijaz) telah
membuka sebuah babak baru benturan antara Islam Gujarat-Persia-Syiah dan
Islam Arab-wahabi. Agaknya inilah yang bisa dianggap sebagai embrio
konflik antara literalisme dan rasionalisme di Indonesia.
Pada masa-masa berikutnya, terhentinya
arus kedatangan pedagang dan pendakwah dari Persia telah membuka
kesempatan bagi kedatangan para pendakwah Islam dari Arab.Inilah yang
menandai berakhirnya pengaruh mazhab Syiah di Indonesia. Kini yang
tersisa hanyalah situs-situs budaya dan peninggalan sejarahnya.
Namun yang perlu diperhatikan, ada dua
jenis pendakwah Arab yang tidak bisa dianggap sama, yaitu pendakwah dari
Yaman (Hadhramaut) yang membawa Islam mazhab Syafii dan pendakwah dari
Saudi Arabia yang menyebarkan Islam wahabi atau Salafi. Islam Sunni yang
direpresentasi oleh NU di Indonesia adalah himpunan mazhab kalam
Abul-Hasan Asy’ari dan empat mazhab fikih serta tasawuf Ghazali,
sebagaimana ditegaskan dalam Qanun Asasinya.
Sedangkan Islam wahabi didirikan Muhammad
bin ‘Abdul Wahhâb (1111 H/1700 M- 1206 H/1792 M).Ia sangat terpengaruh
oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu
Taimiyah yang hidup di abad ke 14 M. Untuk menimba ilmu, ia juga
mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak],
Damaskus {Siria], Iran, termasuk kota Qum, Afghanistan dan India. Di
Baghdad ia mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Bashra selama 4
tahun. Tatkala pulang ke kampung halamannya ia menulis bukunya yang
kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya,Kitâbut’Tauhîd. Para
pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn. Ia kemudian pindah ke
‘Uyaynah.
Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah,
ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya
melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali
menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota ini ia mulai menggagas
dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi
dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang
dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang
mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum
SunniSegala yang dianggapnya tidak dilakukan Nabi, dianggap bid’ah. Tapi
ia sendiri tidak melakukan penelitian yang cermat terhadap biografi
Nabi. Itu sebabnya, tatkala pemerintah Saudi ‘terpaksa’ menggunakan
telepon, TV, radio dan lain-lain,kaum Wahhabi ini melakukan perlawanan
keras. Tetapi hadis-hadis yang mewajibkan Muslim taat pada pemerintah
yang baik maupun yang fasik yang banyak sekali jumlahnya, digunakan
pemerintah untuk menahan dan menganggap mereka sebagai pembangkang
bahkan teroris.
Kemenangan suku badui dari klan Saud
sangat bergantung pada dukungan Kolonialisme Inggris. Berkat gucuran
dana, suplay senjata dan pendidikan keterampilan, kekuasaan Ibnu Su’ûd
menyebar ke seluruh Jazirah Arab yang masa itu berada dalam kekhalifahan
‘Utsmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu.Tahun 1800 seluruh
Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi
Arabia. Sejak itu Hijaz menjadi harta mutlak hanya satu keluarga bernama
Al-Saud, dan menjadi nama negaranya.
Karena dianggap sebagai tempat kelahiran
Nabi, banyak orang Indonesia yang tanpa sadar mengirimkan anaknya ke
Hijaz, yang saat itu sudah berubah menjadi Saudi Arabia,untuk
mempelajari agama Islam di sana dengan harapan menjadi penguat Islam di
Tanah Air dan kampung halamannya. Namun,karenapaham Wahabi menjadi
mazhab resmi di Arab Saudi dan sejumlah negara Teluk sejak keruntuhan
kerajaan Turki Ottoman (yang diratapi oleh sebuah ormas Islam di
Indonesi), para pelajar itu pulang ke Indonesia dengan membawa paham
wahabi. Sejak saat itulah wahabi masuk ke Indonesia.
Kaum Wahabi melakukan sejumlah aksi
misionari dengan mengusung jargon ‘pemurnian Islam’ dan ‘pembasmian TBC’
(takhayul, bidah dan khurafat), sepertitahlil, maulid dan semacamnya,
seraya menganggapnya sebagai pengaruh paham Syiah yang dianggap sesat
bahkan kafir. Konflik pun tak terhindarkan.
Konflik terjadi pertama kali di di
Indonesia pada abad 19 di Minang Kabau. Kemunculan kelompok ini
menimbulkan perang terbuka dengan kalangan muslim lain, yang mayoritas
beraliran Sunni (Syafii) dan Syiah yang dikenal dengan perang Paderi.
Konflik ini menjadi amunisi bagipemerintah kolonial Belanda untuk
menguatkan cengkramannya. Paham ini dalam versinya yang lebih moderat
dianut oleh ormas keagamaan seperti Persatuan Islam (Persis) yang
mempunyai basis di Bangil dan Bandung. Metode dakwahnya yang kasar
dengan membidahkan tahlil dan tradisi-tradisi lainnya, melaui majalah
Al-Muslimun, cukup mengundang kecaman dan penentangan dari para kyai NU,
terutama pada masa hidup Hasan Bandung dan putranya, Abdulkadirز
Pada awal 90 an gerakan Salafi memisahkan
diri dari gerakan Tarbiyah dan mendirikan gerakan tersendiri yang lebih
radikal. Tidak seperti kelompok Tarbiyah yang berbasis di daerah Jawa
Barat, kelompok ini mengambil basis di beberapa kota besar di Jawa
Tengah, seperti Jogjakarta dan Solo. Kini kelompok salafi radikal
dikenal dengan ‘mazhab Saudi’, sedangkan yang lebih moderat diseknal
dengan ‘mazhab Kuwait’.Dua negara kaya minyak ini, secara institusional
mapun individual, memang dikenal sebagai donaturnya.
Kelompok Salafi juga aktif menyebarkan
pandangan-pandangannya melalui buku, buletin dan majalah murah meriah,
bahkan sebagian dibagikan secara gratis. Majalah-majalah hot jenis kedua
juga menjadi corong misionarinya. Kelompok ini juga menggunakan media
rekaman kaset ceramah/pidato tokoh-tokohnya yang disebarkan secara
internal dari tangan ke tangan (dalam lingkungan gerakan) sebagai metode
dakwah dengan materi dakwah yang sangat-sangat radikal, seperti
menyebarkan kebencian terhadap para penganut agama selain Islam, bahkan
selain Wahabi.
Semula yang melakukan penentangan
terhadap Wahabisme adalah para kyai dari kalangan santri (Nahdliyyin)
yang merupakan representasi dari Islam Sunni.Pesantren-pesantren
dijadikan sebagai basis pendidikan untuk melawan arus misionri wahhabi
yang tidak pernah kehabisan dana. Pendirian sejumlah ormas yang menjadi
‘wahabirakitan lokal (tentu tidak menggunakan nama Wahabi), lalu
pendirian LPBA yang kemudian diganti dengan LIPIA juga pengiriman
guru-guru ‘build-up’ dari Saudi ke Indonesia menandai keberhasilan
Wahabisme di Indonesia. Ia yang semula ditentang secara besar-besaran
karena anti tahlil dan wirid, kini diterima sebagai bagian dari umat
Islam. Ormas-ormas non NU pun akhirnya diterima.
Namun Wahabisme tidak selalu bernasib
baik. Dalam perkembangannya radikalisme yang berkembang di lingkungan
kelompok ini akhirnya memancing keretakan dan konflik horizontal
diantara mereka sendiri. Fenomena radikalisme Juhaiman yang menguasai
Masjidil Haram beberapa tahun silam, Ben Laden dengan Al-Qaedah serta
Talibanisme melahirkan perpecahan dalam simpul-simpul Wahabisme.
Di Arab Saudi, tempat
kelahirannya,wahabisme radikal mulai mendapatkan tekanan dari aparat
Kerajaan. Islam Sunni yang semula dianaktirikan, mulai mendapatkan
kelonggaran. Muslim Syiah, yang menjadi mayoritas di wilayah Timur,
mulai diperlakukan dengan baik. Karena itu, saya mulai saat ini membagi
wahabisme menjadi dua; yang moderat seperi keluarga Saud yang sudah
tidak lagi mengangkat celana di atas mata kaki (malah pakai jubah yang
menyapu tanah dan kadang pakai dasi dan minum wine).
Yang mengharukan, sebagian orang tidak
cukup cerdas untuk membedakan antara Sunni asli Indonesia (Syafii) dan
wahabi (Sunni anti Asy’ari), yang belakangan mulai memakai nama
Ahlussunnah sebagai strategi cerdiknya. Bahkan sebagian menganggap
radikalisme sebagai pertanda relejiusitas dan keteguhan beragama.
Syiah di indonesia sudah ada sejak pertama agama islam masuk Aceh
Bendera Kesultanan Aceh yang berisi syair puji-pujian terhadap Muhammad dan Ali
[ penulis: Dr. Hasballah M Saad ]
ADAKAH pemeluk Syiah di Aceh? Ini perlu
dipertanyakan ketika banyak sekali simbol symbol “syiah” ditemukan, dan
sangat menonjol di kehidupan sehari hari masyarakat Aceh..
Sejarah mula kedatangan Islam ke Aceh,
pemimpinnya dikenal bernama Shir, seperti Shir Poli, Shir Nuwi, Shir
Duli. Dalam hikayat hikayat Aceh lama, kata gelar Shir sering pula
disebut Syahir. Misal, Shir Nuwi dibaca Syahir Nuwi, Shir Poli dibaca
Syahir Poli dst. Kata Syahir ini lebih kurang setara dengan kata Ampon
Tuwanku dalam tradisi melayu di Malaysia.
Asal kata shir, datangnya dari keluarga
bangsawan di kawasan Persia, dan sekitanya. Maka putri Raja Persia yang
setelah negerinya ditaklukkan Umar Ibnul-Khatab, ditawan dan dibawa ke
Madinah, mulanya bernama Shir Banu. Setelah dibebaskan oleh Ali bin Abi
Thaleb, Shir Banu menikah dengan putra Ali bernama Husen. Sementara dua
saudara Shir Banu lainnya menjadi menantu Abubakar dan menantu Umar
Ibnul Khattab. Belakangan nama menantu Ali itu berubah menjadi Syahira
Banu, dan dalam lafal di Hikayat Hasan Husen, nama itu dipanggil Syari
Banon, yang menjadi isteri Sayyidina Husen bin Ali. Husen syahid dibunuh
Yazid bin Muawiyah di Karbala pada 10 Muharam. Shir Banu atau Syari
Banon menjanda sambil membesarkan anaknya Ali Zainal Abidin, yang sering
dipanggil Imam as-Sajad, karena selalu suka bersujud (shalat).
Dalam hikayat Hasan Husen, nama Syari
Banon disebut berulang ulang karena beliau ini mendampingi suami dengan
sangat setianya, hingga ke kemah terakhir di Karbala, mengantar Husen
menuju kesyahidan. Banon bersama putra kesayangannya Ali Zainal Abidin
yang masih sangat belia, menyaksikan sendiri tragedy yang jadi sejarah
hitam umat Islam, karena darah titisan Rasul saw tumpah di bumi Kufah
oleh tangan orang yang mengatasnamakan dirinya khalifah kaum muslimin.
Peristiwa Karbala ini, di Aceh diperingati dengan khanduri A‘syura
secara turun temurun. Adakalanya diiringi dengan membaca hikayat Hasan
Husen, dan para wanita Aceh mempersiapkan penganan sebagai khanduri keu
pangulee. Acapkali pula, para pendengar hikayat ini mencucurkan airmata
tatkala ceritera sampai kepada pembantaian anak cucu Rasulullah saw itu.
Rafli, penyanyi Aceh kontemporer mendendangkan peristiwa itu dengan lirik:
//”Lheuh syahid Hasan ji prang lom Husen/ Ji neuk poh bandum cuco Sayyidina/ Dum na pasukan bandum di yue tron/ Lengkap ban ban dum alat senjata”// ( Dah syahid Hasan, Husen pun digempur/ Nak dihabisi cucu Sayyidina (Rasulullah)/ Seluruh pasukan disuruh turun/ Lengkap semua dengan senjata.)
Semangat mencintai ahlul bait, keluarga
Rasulullah saw itu muncul pula di Aceh dalam bentuk tari tarian. Di
antaranya yang terkenal adalah Saman Aceh. Ragam gerak, lirik lagu dan
ratoh dipenuhi symbol symbol Karbala . “Tumbok Tumbok Droe”(memukul
mukul dada sendiri) dilakukan oleh para pemain Saman Aceh (juga dalam
seudati) sebagai symbol penyesalan Karbala . Seluruh gerak tari Saman
itu diilhami oleh kepedihan, penyesalan, dan ratap tangis atas syahidnya
Sayyidina Husen, yang terperangkap oleh tipu daya penduduk Kufah yang
mendukung Yazid bin Muawiyah.
La Fata Illa Ali, Wa La Syaifa Illa Dzulfaqor
Di Iran, dan beberapa kawasan sekitar
benua Persia itu, amat lazim dijumpai perempuan dan laki laki memukul
mukul dada hingga ada yang berdarah untuk mengenang peristiwa Karbala di
hari Asyura, setiap tahunnya. Dalam naskah hikayat Muhammad Nafiah,
yang mengisahkan peran adik laki laki Hasen bin Ali dari lain ibu, yasng
menuntut bela atas syahidnya Husen di Karbala, jelas sekali dilukiskan
bagaimana pengikut Yazid “dikafirkan” oleh sang penulis hikayat itu.
Tatkala Muhammad Nafiah ingin mengeksekusi mati seorang lagi perempuan
hamil yang masih hidup, sementara yang lain sudah dibunuh semua, maka
turunlah suara dari manyang (langit)
//”Sep ka wahe Muhammad Nafiah, bek le tapoh kaphe ulu/ Bah tinggai keu bijeh, agar uroe dudoe mangat na asoe neuraka”// ( “Cukup sudah wahai Muhammad Nafiah, jangan lagi dibunuh kafir hamil itu/ agar dia beranak pinak lagi untuk isi nereka kelak”)
Karensa Muhammad Nafiah ingin mengabaikan
perintah penghentian pembantaian itu, maka tiba tiba dia dan kudanya
diperangkap oleh kekuatan sghaib. Lalu terkurunglah dia bersama kudanya
dalam sebuahgua batu. //Muhammad Nafiah lam guha bate/ Sinan meu
teuentee dua ngen guda// (Muhammad Nafiah dalam gua batu/ Terkurung
disitu bersama kudanya).
Dalam bagian lain, dikisahkan bahwa pada
suatu hari, ketika Muhammad Nafiah masih kecil, Ali bin Abi Thaleb
membawa pulang ke Madinah anak laki lakinya itu dan duduk duduk
bercengkerama bersama Rasul dan dua kakaknya lain ibu, Hasan dan Husen.
Rasulullah saw mendudukkan Hasan dan Husen di pangkuan sebelah kiri,
sementaara Muhammad Nafiah duduk di atas paha kanan Rasulullah. Tatkala
Fatimah, ibunnya Hasan dan Husen melintas, dia bermasam muka karena
melihat justru putra Ali yang bukan berasal dari rahim Fatimah mendapat
tempat di sebelah kanan Rasulullah, sementara putra putranya, Hasan dan
Husen duduk di paha kiri Rasul.
Rasul memandang wajah masam Fatimah az-Zahra, putri kesayangannya itu. Lalu Rasul memanggil Fatimah, dan bersabda:
“Wahai anakku, janganlah bermasam muka.
Yang ini, sambil menunjuk Hasan dan Husen, akan menemui ajal kelak
ketika kita sudah tiada, karena dibunuh orang. Yang inilah, sambil
menunjuk Muhammad Nafiah, yang akan menuntut bela atas kematian kedua
mereka ini, maksudnya Hasan dan Husen. Jibrail telah menyampaikann hal
itu kepeda ku wahai Fatimah”
Mendengar ucapan Rasul waktu itu, barulah
wajah Fatimah kembali berseri seperti sediakala. Ada pesan Jibrail
kepada Rasulullah atas peristiwa yang bakal terjadi atas anak cucunya
setelah Rasul dan Fatimah tiada kelak. Begitu mulianya kedudukan
Muhammad Nafiah, putra Ali dari isteri lain, (mungkin hasil perkawinan
mut‘ah dalam peperangan yang lama).
Hikayat itu telah menjadi bacaan sehari
hari kaum muslimin di Aceh. Dalam benak orang Aceh, kafir perempuan yang
hamil tua itu, meskipun dia adalah pemeluk agama Islam, namun dipandang
sebagai kafir karena dia pengikut Yazid bin Muawiyah. Dam inilah cikal
bakal kafir sekarang ini yang akan menjadi pengisi neraka kelak. Wallahu
’aklamu bis-shawab!
Jika dibandingkan dengan ceritera tentang
kehebatan Amerika dalam film-film perang mereka dengan Vietnam
umpamanya, muncul kesan publik bahwa Amerik-lah yang paling jagoan,
meskipun semua orang tahu pada akhirnya dia harus angkat kaki dari
negara bekas jajahan Perancis itu, meskipun orang Vietnam melawan dengan
bambu runcing. Tak ada catatan sejarah yang akurat tentang Muhammad
Nafiah yang menghabiskan seluruh pasukan Yazid di Kufah, namun hikayat
itu justru mengisahkan yang tinggal hanya seorang “kaphe ulu” (maaf:
hamil) yang anak turunannya menjadi cikal bakal penghuni neraka kelak.
Saya bisa memahami bagaimana kepedihan
kaum muslimin katika Husen syahid, dan perasaan itu dihibur dengan
pembelaan yang gemilang oleh cerita kemenangan Muhammad Nafiah bin
Sayyidina Ali, setelah Husen dan pengikutnya syahid di Karbala. Ini juga
menjadi bukti terhadap apa yang diriwayatkan, tentanag ceritera Fatimah
bermasam muka, karena Hasan Husen diletakkah di atas paha kiri
Rasulullah, ketika mereka masih kecil dulu dan Muhammad Nafiah justru
dipaha kanan Rasul.
Dalam tradisi Aceh, hikayat berbentuk
hiburan yang selalu mengandung pesan, nasihat, sumber pengetahuan,
sejarah serta agama. Hikayat Hasan Husen, Nubuwat Nabi, Fatimah Wafat,
Muhammad Nafiah dll. merupakann bacaan rakyat yang utama disamping
hikayat hikayat lain seperti Putroe Gumbak Meuh, Peurakoison, Nun
Farisi, Indra Budiman, Indra Bangsawan, Baya Siribee, dll. Kala itu
memang belum ada novel Lasjkar Pelangi, atau Sang Pemimpi, atau Ayat
Ayat Cinta dsb. Sinetron pun belum dikenal oleh masyarakat Aceh lama.
Maka ceritera dalam hikayat lah yang menjadi referensi perilaku, sumber
nasehat, dan pengetahunan sejarah bagi masyarakat luas.
Di kawasan pantai barat Aceh, termasuk
utamanya Aceh Selatan, berkembang kesenian tradisional “Pho” Tari pho
dimainkan oleh sejumlah anak anak gadis remaja, dengan mendendangkan
syair penuh nuansa sendu, seumpama orang meratapi kematian. Dalam format
khusus, gadis remaja menyusun format berkeliling melingkar, dan
meratapi sesuatu, bagaikan meratapi kematian. Ingatlah bagaimana
masyarakat Aceh memperingati “Asyura” dengan nyanyian dan hikayat Hasan
Husen, semua dilantunkan dalam irama pilu penuh duka lara.
Di komunitas lain di Pidie, agak menarik
disimak rentetan nama nama anggota keluarga Sayed (Habib). Sebut saja
berawal dari Nama Sayed Idris alias Teungku Syik di Keude, memiliki tiga
anak laki laki dan dua anak perempuan. Yang laki laki bernama Sayed
Hasyem, Sayed Husen, Sayed Abidin (Zainal Abidin), Sementara anak
perempuannya bernama Cutwan Dhien dan Cutwan Samalanga (nama aslinya
tidak lagi dikelnal lagi) Sayed Husen berputrakan Sayed Abubakar, Sayed
Puteh, dan Sayed Bunthok, sementara yang perempuan bernama Cutwan
Syarifah, Cutwan Manyak dan Cutwan Fatimah.
Sayed Zainal Abidin mempunyai seorang
putri tunggal bernama Ummi Kalsum (Cutwan Kasum) Dari perkawinannya
dengan saudara sepupu, Sayed Abubakar, Cutwan Kasum memiliki saeorang
putri tunggal diberi nama Cutwan Fatimah, yang menikah dengan Sayed Ali
bin Sayed Abdullah Bambi. Sayed Abdullah Bambi menikah dengan Cutwan
Khadijah binti Habib Husen Az-Zahir. Sementara kakak Cutwan Khadijah
bernama Habib Hasan dan Habib Ahmad Sabil. Khadijah sendiri berputrakan
selain Sayed Ali adalah Sayed Muihammad, dan Aja Rohani.
Sementara Habib Hasyem alias Habib
Peureumbeue, mempunyai beberapa orang putra, antara lain Sayed Ahmad
(Pak Mukim) Sayed Abdullah, dan yang perempuan bernama Cutwan Khadijah
pula. Cutwan Khadijah menikah dengan Habib Ahmad Mon Keulayu, dan
berputrakan antara lain Sayed Hasan, Sayed Husen, Sayed Aabdurrahman,
Sayed Alwi, Sayed Ali dan Sayed Jamaluddin. Simaklah putaran nama nama
itu, semuanya berkisar sekitar nama keluarga Rasulullah, mulai dari
Hasyem, Abdullah, Khadijah, Ahmad (Muhammad) Ali, Fatimah, Hasan, Husen,
Umi Kalsum, Zainal Abidin, Abubakar, dst. Sementara masyarakat umum
yang bukan keturunan Sayed, selalu memberikan nama anak anak mereka
dengan nama nama Abbas, Hamzah, Aminah, Thaleb, Zainab, Rukaiyah,
disamping nama nama seperti yang saya sebutkan itu.
Apakah fenomena ini dapat dijadikan
indikasi bahwa para pemilik nama nama itu merupakah pengikut Syiah Aceh?
Apakah nama nama demikian karena menasabkan diri pada keturunan
Rasulullah? Atau telah terjadi pertalian dua kepentingan, petama
menasabkan diri pada darah nabi, dan kedua melestarikan nama nama yang
dikenal sebagai nama ahlul bait yang utama? Tentu hal ini memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Simak pula, kisah yang selalu dilantunkan pada bulan Muharram (bulan dimana syahidnya Sayyidina Husen di Karbala):
//”Bak siploh uroe buleueun Muharram/ Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul/ Peu na mudah ta khanduri / Po Tallah bri pahla dudoe”// ( “Sepuluh hari bulan Muharram/ Kesudahan Husen Jamalul/ Jika ada kemudahan agar ber khanduri/ Allah memberi pahla nantinya”)
Bagaimanan jika disimak praktek ritual
ibadah wajib seperti shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji? Orang
Aceh semuanya mengikuti praktek ibadah kaum Sunny, sebagaimana lazimnya
kaum muslimin ditempat tempat lain di Indonesia. Namun bacaan shalawat
kepada Nabi dan keluarganya, selalu diucapkan dengan menambahkan kata
Sayyidina di depan nama Muhammad, dan Ibrahim. “Allahumma shalli ala
Sayyidina Muhammad, wa ’ala ali Sayyidina Muhammad, kama shallaita ala
Sayyidina Ibrahim, wa ala ali Sayyina Ibrahim, dst” Hal ini amat
ditentang oleh pengikut Wahabi yang sangat anti terhadap praktek ibadah
seperti memuja nama Rasul itu dengan meletakkan nama Sayyidina di depan
nama nama mereka.
Saya hampir sampai pada kesimpulan bahwa
orang Aceh itu pencinta ahlul bait yang sangat setia, kalaupun mereka
tidak pernah mengaku sebagai pengukut syi‘ah. Bukankah pada masa
tertentu dalam sejarah Islam, kaum syi‘ah meperkenalkan istilah taqiyah
(bersembunyi) dan dari itu lahirlah ungkapan, bahwa orang yang mengaku
dirinya syi‘ah bukanlah syi‘ah lagi”
Simaklah sebuah ceritera lucu tapi
mengharukan, yang berlaku dalam satu keluarga miskin dan buta huruf di
sebuah desa di Aceh pada tahun 1950-an. Tersebutlah nama Waki Saad
Gapui, yang menikah dengan prempuan desa buta huruf, Maimunah namanya.
Mereka berputra kan beberapa orang dan semua laki laki. Saad adalah
penggemar hikayat Hasan Husen, seperti juga penduduk kampung lainnya.
Maka dalam hikayat itu dikisahkan begini:
“Hasan dan Husen cuco di Nabi/ Aneuek tuan Siti Fatimah Dora/ Tuan teu Husen Syahid dalam Prang / Tuan teu Hasan syahid ji tuba/ Syahid di Husen ka keunong beusoe/ Di Hasan sidroe keunong bencana (racun)/ Tuan teu Husen syahid dalam Prang/ Tuan teu Hasan di rumoh tangga”//
Terkesima dengan kegungan nama yang
disebut dalam bait hikayat itu, Saad sepakat memberikan nama nama
anaknya seperti nama nama cucunda Nabi. Yang tertua diberi nama Hasan
(Keuchik Hasan) yang kedua diberi nama Dan (Apa Dan) dan yang ketiga
diberi nama Husen (meninggal waktu kecil). Maka kalau dibaca dalam satu
nafas menjadi Hasan Dan Husen dilanjutkan dengan Cuco di Nabi. Padahal
kata sambung dan itu bukan nama orang. Saad tidak peduli, dan nama anak
keduanya tetap saja DAN, meskipun ketika dewasa nama itu menjadi Mad
Dan, karena kesulitan menulis nama dalam KTP. Lalu adik adiknya diberi
nama Sulaiman (nama Nabi), Ibrahim (nama Nabi), Zainal Abidin (nama
putra Husen) dan Abdul Hamid. Apa yang terjadi dalam kehidupan kejiwaan
Saad?Meskipun buta huruf dan petani biasa, Saad merasa sangat dekat
dengan kehidupan Rasulullah, sehingga kumandang nama ahlul bait selalu
terdengar dalam keluarga mereka. Saya merasa yakin, seandainya Saad
memiliki anak perempuan, pasti akan diberi nama Khadijah, Fatimah atau
Aminah!
Pertanyaannya kini adalah, apalah, sekali
lagi, hal ini dapat dijadikan indikator bahwa orang Aceh baik keturunan
Sayyed, atau orang biasa dapat disebut pengukut Syi‘ah? Atau dengan
sebutan lain, apakah mereka ini bisa dipanggil dengan sebutan Syi‘ah
Aceh? Saya sendiri cenderung berfikir demikian. Namun agar praduga ini
cukup memiliki hujjah yang kuat, perlu dilakukan penelitian yang lebih
dalam tentang fenomena yang saya uraikan dalam tulisan ini. Ini perlu
dilakukan untuk memastikan bahwa Islam yang mula mula masuk ke Aceh
justru berasal dari para ahlul bait yang hijrah karena tekanan politik
dinasti Ummayah (turunan Muawiyah bin Abu Sofyan) terhadap keturunan
Sayyidina Ali yang belakangan dikenal dengan kaum Alawiyin, pengikut Ali
yang sepupu dan menantu Rasulullah.
Ingatlah pula bahwa pada saat haji wadak,
Rasul pernah berkata di hadapan jama‘ah yang bergerak kembali ke
Madinah setelah selesai berhaji. Rasul sawa sambil mengangkat tangan
Ali, Rasul bersabda, “Wahai saudaraku kaum muslimin, aku dengan dia
(sambil menunjuk Ali) bagaikan Musa dengan Harun, jika sesudah ku masih
ada nabi, maka dialah orangnya. Namun karena tak ada nabi sesudahku,
maka dialah penerusku. Kau saksikankah ucapanku ini wahai sekalian
manusia?” kata Rasul dibukit Ghadir Khum itu. Maka dari turunan
Sayyidina Ali itulah, kaum Alawiyin membangsakan diri. Wallahu a‘lamu
bis-shawab.
*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan kebudayaan, pegiatan Aceh Cultur Institut (ACI)
0 komentar:
Posting Komentar